Left arrow Kembali

Peneliti Jelaskan Perbedaan Kandungan Asap Rokok dan Uap Vape

Rokok elektronik atau yang dikenal juga sebagai vape atau vaporizer, merupakan produk tembakau alternatif yang semakin populer di Indonesia. Banyak pengguna rokok meninggalkan batang nikotin itu dan beralih menggunakan vape.

Rokok elektronik atau yang dikenal juga sebagai vape atau vaporizer, merupakan produk tembakau alternatif yang semakin populer di Indonesia. Banyak pengguna rokok meninggalkan batang nikotin itu dan beralih menggunakan vape. Penggunaan vape sebagai pengganti rokok dianggap lebih aman bagi kesehatan. Namun hal tersebut masih diperdebatkan dan perlu diteliti lebih lanjut. Lantas apa perbedaan kandungan di antara keduanya?

Baca Juga: Merokok dan Menggunakan Rokok Elektronik, Apa Bedanya?

 

Amaliya, peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, menjelaskan bahwa sebenarnya kandungan beracun dari rokok yang dibakar juga bisa ditemukan pada uap vape. "Jadi kalau kandungan dari rokok yang dibakar ada 400 zat beracun. Sementara pada rokok elektronik memang ada beberapa zat beracun yang ditemukan pada rokok tembakau yang dibakar, seperti formaldehyde," ujarnya dalam acara Diskusi Produk Tembakau Alternatif di Tengah Disrupsi Teknologi serta Kaitannya dengan Reaksi dan Tantangan Global di Jakarta, Rabu (17/10). "Tapi kandungan formaldehyde sedikit sekali. Jadi kandungannya di bawah ambang batas normal," jelas Amaliya.

Hal serupa juga dijelaskan oleh David Theodore Levy, ahli onkologi dari Georgetown University Medical Center, Amerika Serikat, yang turut hadir di acara diskusi. "Memang ada riset yang menemukan kandungan formaldehyde di asap rokok elektronik. Tapi ada riset di 2018 yang menemukan bahwa kandungan formaldehyde di asap rokok elektronik menurun hingga 90 persen lebih," tambahnya. Dijelaskan bahwa formaldehyde merupakan salah satu zat karsinogen atau penyebab kanker. Zat tersebut juga bisa menyebabkan mata berair, batuk, dan sensasi panas di hidung serta tenggorokan.

Di samping itu, Amaliya menambahkan bahwa pada riset pertama yang dilakukan pada 2014, ada beberapa faktor yang menyebabkan ada temuan tinggi formaldehyde di asap rokok elektronik. "Riset pertama itu menggunakan rokok elektronik atau vape generasi pertama. Kemudian di laboratorium riset pertama mereka juga memanaskan terlalu tinggi," kata Amaliya.

"Jadi logam vapenya terbakar terus cairannya terpanaskan sampai 700 derajat Celcius," tambahnya. Sementara riset 2018 yang dilakukan di Yunani ini menggunakan vape terbaru, yaitu generasi ketiga, dan juga cairan dipanaskan sesuai dengan kemampuan alat, yaitu sekitar 200 hingga 300 derajat Celcius.

Sumber: Kumparan.com, 17 Oktober 2018