Alternatif itu diharapkan dapat menjadi pilihan untuk beralih dari rokok. Dukungan dari pemerintah perlu diperkuat dengan regulasi yang berbasis profil risiko kesehatan, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita.
Garindra mengungkapkan produk tembakau alternatif telah membantunya berhenti merokok sejak 2016 lalu. Meski satu bulan pertama terasa sulit, ia akhirnya mampu sepenuhnya lepas dari rokok.
"Satu bulan pertama terasa cukup berat karena dorongan untuk merokok masih ada. Selanjutnya menjadi semakin mudah,” kata Garindra kepada media, Selasa.
Sejak itu, Garindra pun berhenti merokok. Tak hanya itu, berkat beralih ke produk ini, dirinya juga bisa lepas dari"smoker’s cough" atau batuk yang biasanya dirasakan para perokok. Selain itu, ada kenyamanan baginya maupun lingkungan sekitarnya.
“Keluarga saya pun merasa lebih nyaman. Rumah, pakaian, dan kendaraan tidak berbau asap rokok,” ungkapnya.
Menurut Garindra, kondisi serupa juga dialami oleh hampir seluruh konsumen produk tembakau alternatif. Dengan potensinya yang besar tersebut, dia berpendapat produk ini seharusnya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah sebagai salah satu pilihan untuk beralih dari rokok.
Ditambah lagi, berdasarkan hasil sejumlah kajian ilmiah di dalam dan luar negeri menyatakan produk tembakau alternatif mampu mengurangi risiko hingga 90 persen-95 persen dibandingkan rokok konvensional.
"Produk tembakau alternatif seharusnya diperlakukan sebagai salah satu produk yang menerapkan konsep pengurangan risiko. Produk ini menjadi jalan keluar dan solusi nyata bagi banyak orang," kata dia.
"Hampir seluruh konsumen rokok elektronik menyadari bahwa produk ini lebih rendah risiko. Salah satu bentuk regulasi yang dibutuhkan antara lain tentang standar produk agar dapat meyakinkan konsumen bahwa produk ini dibuat dengan benar,” tegasnya.
Apabila pemerintah tidak mendukung produk tembakau alternatif dengan optimal, Garindra mengatakan prevalensi merokok dan segala masalah kesehatan yang terkait dengan rokok akan sulit diatasi.
"Di saat negara-negara maju sudah berhasil mengatasi risiko yang dihasilkan dari rokok ini, Indonesia akan tertinggal sangat jauh dan terus berada di lingkaran masalah yang tidak kunjung menemukan solusi,” terang Garindra.
Sejalan dengan Garindra, Ketua Asosiasi Vapers Indonesia (AVI) Johan Sumantri menambahkan, pemerintah perlu menghadirkan regulasi berbasis profil risiko agar perokok dewasa sepenuhnya yakin mereka memiliki pilihan untuk beralih ke produk tembakau alternatif, dan dapat meninggalkan rokok sepenuhnya.
"Sekarang ini belum ada regulasi yang jelas sehingga menyebabkan produk tembakau alternatif tidak optimal untuk dimanfaatkan bagi perokok yang ingin beralih,” ungkapnya.
Sebagai langkah awal, pemerintah dapat mempertimbangkan hasil kajian yang sudah dilakukan oleh para akademisi maupun universitas, baik di dalam maupun luar negeri.
Setelah mendapatkan informasi awal mengenai produk tembakau alternatif, tahapan selanjutnya adalah diperlukan riset lokal yang didukung pemerintah dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk industri produk tembakau alternatif dan asosiasi konsumen. Johan menyatakan siap membantu pemerintah.
"Di Indonesia sudah ada berbagai universitas atau lembaga independen yang membuat kajian. Tetapi pemerintah belum melihat kajian tersebut sebagai acuan untuk membuat regulasi dan mempertimbangkan konsep pengurangan bahaya tembakau sebagai bagian dari pengendalian tembakau, itu yang jadi masalah. Kalau memang butuh data dari konsumen, AVI siap membantu," tutup Johan.