Pengguna produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) memiliki respon ketahanan tubuh yang lebih baik dibanding perokok ketika terjadi serangan bakteri pada rongga mulut, khususnya bagian gusi.
Respon tersebut berupa terjadinya peradangan dalam bentuk perdarahan atau pembengkakan pada gusi. Hal ini dibuktikan lewat sebuah penelitian berjudul “Respon Gingiva Pada Pengguna Vape Saat Mengalami Gingivitis (Gingival Response in Vapers During Eksperimental Gingivitis)” yang dilakukan oleh akademisi dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Amaliya dan Agus Susanto, serta Jimmy Gunawan.
"Saya ingin lihat, kalau yang menggunakan vape bagaimana? Jadi kami melakukan penelitian terhadap tiga kelompok," ujar Amaliya saat dihubungi wartawan, Jumat (2/7/2021). Penelitian ini melibatkan 15 responden berusia 18 - 25 tahun yang terdiri atas lima perempuan dan 10 laki-laki.
Responden dibagi ke dalam tiga kelompok berbeda dengan distribusi gender yang tidak merata. Ketiga kelompok tersebut yakni perokok dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun, pengguna vape eksklusif (bukan konsumen dualisme vape dan rokok) yang telah menggunakan vape atau beralih ke vape dengan kandungan nikotin selama minimal satu tahun, dan non-pengguna produk tembakau apapun.
Sebelum penelitian dimulai, seluruh responden melalui proses pembersihan plak secara menyeluruh terlebih dahulu. Kemudian, para responden diminta untuk menggunakan stent akrilik di bagian rahang bawah selama 21 hari masa penelitian. Hal ini bertujuan agar bagian tersebut tidak ikut tersikat pada saat responden menyikat gigi dan akumulasi bakteri bisa terjadi. Di akhir masa eksperimen, para responden non-perokok dan bukan pengguna vape mengalami reaksi berupa peradangan pada gusi yang tidak disikat selama 21 hari. Hal tersebut, menurut Amaliya merupakan bentuk pertahanan tubuh normal.
Sementara itu, para responden yang merokok tidak mengalami peradangan walaupun terdapat kuman yang menempel pada gigi berupa plak. "Jadi, ada semacam topeng yang mengelabui tubuh kita. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Ini yang berbahaya," jelasnya.
Sementara itu, pada kelompok yang menggunakan atau telah beralih secara eksklusif sehingga hanya menggunakan vape dengan kandungan nikotin, reaksi peradangan terjadi sama seperti pada responden yang tidak mengonsumsi rokok maupun vape.
Oleh karena itu, menurut Amaliya, pernyataan yang menyebutkan bahwa nikotin merupakan penyebab peradangan pada gusi tidak terbukti. "Berarti, ada sesuatu hal lain dalam rokok, selain nikotin, yang menyebabkan peradangan itu tidak terlihat. Tidak tahu apa, tapi ternyata bukan nikotin" pungkasnya.
Hal ini sejalan dengan penelitian institusi medis di Inggris, UK Royal College of Physicians, yang membuktikan bahwa nikotin bukan penyebab risiko penyakit akibat kebiasaan merokok, melainkan kandungan lain yang berbahaya dari asap rokok akibat pembakaran.
Berbeda dengan rokok, produk HPTL tidak dibakar sehingga zat berbahaya yang terbentuk jauh berkurang. Penelitian ini sekali lagi, membuktikan bahwa produk HPTL, memiliki profil risiko yang lebih rendah daripada rokok. Amaliya pun berharap akan banyak riset dari dalam negeri mengenai produk HPTL ini. “Memang masih sangat terbatas ya di Indonesia tentang penelitian produk tembakau alternatif ini,” ujarnya.