Left arrow Kembali

Salah Persepsi atas Produk Tembakau Alternatif

Dunia kesehatan tengah melalui masa transisi penting berkat semakin dikenalnya produk tembakau alternatif seperti produk rokok elektronik atau vape, nikotin tempel, snus, serta produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar. Lalu, apakah produk-produk tersebut sudah sepenuhnya dimengerti masyarakat?

Prof. Dr. Achmad Syawqie Yazid, Drg., MSS 
Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Bandung, 
Ketua Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia

Dunia kesehatan tengah melalui masa transisi penting berkat semakin dikenalnya produk tembakau alternatif seperti produk rokok elektronik atau yang sering disebut dengan vape, nikotin tempel, snus, serta produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar. Produk-produk tersebut tetap berbahan dasar tembakau, namun dikonsumsi tanpa proses pembakaran. 

Produk-produk ini mengandung nikotin yang pada dasarnya juga terkandung dalam rokok yang konsumsinya dengan cara dibakar. Meski demikian, perbedaan cara konsumsi antara rokok yang dibakar dan produk-produk tembakau alternatif inilah yang membedakan keduanya, di mana penggunaan produk tembakau tanpa dibakar memiliki potensi risiko yang jauh lebih rendah.

Seperti berbagai isu yang menyelimuti topik inovasi dan disruptive technology, konflik dan pro-kontra selalu hadir. Hal ini terjadi pula pada kehadiran inovasi kesehatan yang dibawa oleh produk tembakau alternatif sebagai solusi untuk menekan bahaya dan dampak negatif rokok yang dikonsumsi dengan dibakar. Bias terhadap kepentingan tertentu akan dapat menghalangi perkembangan inovasi kesehatan yang terbukti secara ilmiah berpotensi menguntungkan jutaan jiwa. 

Pada 2015 Public Health England (PHE), agensi kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris Raya, mengutarakan bahwa produk nikotin yang dipanaskan dan bukan dibakar menurunkan risiko kesehatan hingga 95% dari rokok. Riset tersebut menjelaskan fakta bahwa kandungan yang berbahaya dari rokok yang dikonsumsi dengan dibakar adalah TAR, yaitu hasil pembakaran produk tembakau. 

Sementara nikotin yang selama ini sering dianggap paling berbahaya memberikan dampak pada rasa candu. Tidak banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya nikotin juga terdapat di tomat, kentang, dan terong. Hal ini memberikan pencerahan bahwa permasalahan terbesar dari rokok yang dikonsumsi dengan dibakar adalah proses pembakaran. 

Inovasi Kesehatan 
Bagi pakar-pakar kesehatan internasional, kehadiran produk tembakau alternatif yang didasari pada riset jangka panjang merupakan salah satu inovasi kesehatan terpenting karena dapat secara efektif menekan risiko penggunaan rokok yang dikonsumsi dengan dibakar. Studi terbaru dari Georgetown University Medical Center, Amerika Serikat yang dipublikasikan dalam jurnal Tobacco Control mengutarakan bahwa jutaan nyawa dapat diselamatkan bila perokok beralih ke produk alternatif tembakau. 

David Levy, peneliti yang menjadi penulis utama studi ini, mengutarakan bahwa dalam sebuah analisis mengenai potensi manfaat kesehatan dari berhenti merokok atau mengonsumsi tembakau dengan dibakar, para peneliti menemukan sebanyak 6,6 juta orang di Amerika Serikat (AS) dapat terhindar dari kematian dini. Jika seluruh perokok mau berpindah ke produk tembakau alternatif, dapat menyelamatkan secara kumulatif sekitar 86,7 juta jiwa. 

Studi ini menggunakan skenario terbaik dan terburuk serta membuat model potensi dampak kesehatan masyarakat bila rokok yang dikonsumsi dengan dibakar digantikan dengan salah satu produk tembakau alternatif. Meskipun risiko kesehatan dari produk tembakau alternatif masih perlu terus diteliti, hasil studi ini menunjukkan, meski menggunakan skenario terburuk, beralih ke produk alternatif tembakau akan tetap lebih aman karena masih tetap akan menyelamatkan jutaan nyawa. 

Pemerintah Harus Hati-hati 
Hasil riset pada 2017 menempatkan Indonesia di peringkat kelima negara dengan jumlah konsumen rokok (rokok yang dikonsumsi dengan dibakar) terbesar di dunia. Lebih dari itu, data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia pada usia 15 tahun meningkat sebesar 36,3% dibandingkan dengan 1995 sebesar 27%. Hingga saat ini belum ada langkah yang benar-benar strategis untuk bisa menurunkan angka perokok di Indonesia.

Meski berbagai upaya promosi dan penyuluhan kesehatan telah dilakukan untuk mengurangi adiksi masyarakat terhadap produk ini, perokok di Indonesia masih tetap tinggi. Pemerintah juga perlu memperhatikan reaksi positif dari banyak negara di dunia. Temuan-temuan tersebut di atas dan berbagai temuan terdahulu lain bisa menjadi referensi bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang strategis dan tepat guna. 

Dengan berbagai alasan di atas, tentu akan tampak kurang bijak bagi Pemerintah Indonesia untuk menerbitkan regulasi yang menghalang-halangi pengembangan produk-produk tembakau alternatif tersebut. Di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa membiarkan produk alternatif tembakau berkembang tanpa payung hukum yang jelas. 

Berbagai pembatasan harus tetap diberlakukan dengan sangat ketat demi menjaga pengembangan produk alternatif tembakau agar tidak salah tujuan. Satu di antaranya pelarangan penggunaan bagi masyarakat di bawah umur haruslah ditegakkan. Pemerintah juga perlu melakukan pengawasan langsung kepada produsen agar semua produk yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat dipastikan aman menurut standardisasi dari pemerintah. 

Selain memberlakukan peraturan-peraturan untuk menjaga penggunaannya, pemerintah juga memiliki kepentingan untuk menggalakkan penelitian-penelitian di Indonesia mengenai dampak penggunaan produk tembakau alternatif. Penelitian yang bersifat lokal ini akan membantu pemerintah untuk bisa menjalankan regulasi berdasarkan kebutuhan unik di Indonesia.

Sumber: Koran Sindo, 1 November 2017