- Penelitian lebih lanjut atas produk tembakau alternatif mutlak diperlukan untuk menggali lebih dalam mengenai potensi yang dimiliki.
- Perumusan kerangka regulasi produk tembakau alternatif yang tepat serta berbeda dengan rokok perlu dibentuk karena adanya potensi lebih rendah risiko yang telah terbukti dari hasil temuan penelitian.
Kegiatan Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) Roadshow yang dimulai sejak April 2018 lalu kini ditutup dengan penyampain resolusi mengenai masa depan produk tembakau alternatif di Indonesia. Selama roadshow berlangsung, KABAR masih banyak mendapati mispersepsi soal kandungan berbahaya pada rokok di masyarakat. Dengan demikian, penelitian lebih lanjut mengenai produk tembakau alternatif mutlak diperlukan untuk membenarkan persepsi dan menggali lebih dalam atas potensi yang dimiliki. Publikasi dari hasil penelitian juga diharapkan bisa dipaparkan secara terbuka, sehingga pembuat kebijakan, perokok dewasa, serta masyarakat dapat mengetahui dan memutuskan dengan lebih tepat mengenai produk tembakau alternatif.
"Banyak yang mengira kalau nikotin adalah kandungan yang paling berbahaya pada rokok, padahal sebenarnya yang paling berbahaya itu TAR. TAR dihasilkan dari proses pembakaran rokok yang dapat memicu berbagai penyakit berbahaya pada tubuh, bukan nikotin. Tapi yang mesti diketahui juga, nikotin ini juga tidak bebas risiko," jelas Dr. drg. Amaliya, M.Sc., PhD, Ketua KABAR dan Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2013, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masuk ke dalam 15 besar angka perokok tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 31,6 persen dengan Kota Yogyakarta kedua tertinggi dalam provinsi yakni sebesar 26,2 persen.
Tingginya angka ini menurut Dr. drg. Amaliya memerlukan sebuah solusi yang bertujuan untuk mengurangi jumlah perokok secara perlahan. Ia mengatakan bahwa dari penelitian yang telah dilakukan, didapati banyak fakta menarik di lapangan seputar perokok. "Kami menemukan bahwa banyak perokok merasa kesulitan untuk berhenti. Di antara mereka juga telah banyak mencoba beragam metode berhenti merokok, seperti cold turkey, bantuan dengan permen, hingga terapi konseling. Namun, masih banyak yang belum berhasil. Ini memang membutuhkan solusi lain untuk membantu mereka (perokok) agar dapat berhenti secara perlahan," terang wanita asal Bandung ini.
Dalam mencari solusi lain ini, ia mencontohkan Inggris sebagai negara maju yang memiliki masalah yang sama dengan Indonesia. Berdasarkan data Public Health England, badan kesehatan di bawah naungan Kementerian Kesehatan Inggris, pada pertengahan tahun 2017, Inggris berhasil mencatatkan penurunan angka perokok tertinggi yakni sebesar 20.000 orang dari jumlah perokok sekitar 15,5 persen di tahun 2016 akibat kontribusi produk tembakau alternatif.
"Metode harm reduction (pengurangan risiko) yang ada pada produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar dapat mengeliminasi TAR, sehingga risiko kesehatannya menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, ada baiknya kita mempertimbangkan metode pengurangan risiko ini sebagai metode yang dapat membantu mengurangi angka perokok di Indonesia," lanjut Dr. drg. Amaliya.
Manfaatkan Potensi dengan Regulasi yang Tepat
Senada dengan Dr. drg. Amaliya, Dewan Penasihat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Jawa Barat dan Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran Dr. Ardini Raksanagara dr.,MPH., menjelaskan bahwa pada dasarnya metode pengurangan risiko ini merupakan salah satu opsi peralihan konsumsi rokok ke produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko. "Dalam konteks keilmuan kesehatan masyarakat, metode ini telah banyak diterapkan, bukan hanya pada produk tembakau saja," pungkas Dr. Ardini.
Dr. Ardini mengatakan bahwa proses pemasanan pada produk tembakau alternatif dapat mengeliminasi TAR. Dengan terleminasinya TAR, maka risiko terhadap paparan penyakit berbahaya seperti jantung dan kanker juga tereduksi secara signifikan. Ia juga menambahkan bahwa dibutuhkan proses serta waktu yang tidak instan bagi perokok untuk beralih.
"Metode ini patut diperhitungkan mengingat potensi manfaat yang dimilikinya. Meskipun berhenti merokok adalah jalan terbaik, tapi produk ini dapat menjadi pilihan bagi mereka yang kesulitan atau belum berkeinginan untuk berhenti merokok," kata Dr. Ardini.
Selain itu, Pengamat Hukum Ariyo Bimmo mengatakan bahwa regulasi yang komprehensif terkait produk tembakau alternatif di Indonesia diperlukan. "Setelah pemerintah memberikan penetapan pengenaan biaya cukai pada Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang sudah berlaku 1 Oktober lalu, pemerintah kini perlu menyusun regulasi yang lebih menyeluruh bagi produk ini termasuk aturan produk, penjualan, promosi, iklan, sponsorship, serta tempat di mana produk tembakau alternatif bisa dikonsumsi," kata beliau.
Ariyo juga berpendapat bahwa perumusan regulasi produk tembakau alternatif ini baiknya disesuaikan dengan tingkat risiko dan profilnya. "Jika dilihat dari hasil penelitian yang menyatakan produk ini lebih rendah risiko daripada rokok, seharusnya regulasi yang dibuat berbeda dan tidak seketat rokok," tutup beliau.
KABAR Roadshow sebelumnya telah berlangsung di empat kota, yaitu Jakarta, Bandung, Bali, dan Palembang. Seluruh pihak dapat terus mengakses informasi seputar bahaya TAR dan metode pengurangan risiko, termasuk data dan fakta hasil penelitian imiah melalui situs koalisibebastar.com dan melalui gerakan sosial dari KABAR yang akan segera hadir di medium digital. KABAR bersifat terbuka dan mengharapkan masukan dari banyak pihak agar dampak edukasi yang dilakukan semakin menjangkau masyarakat luas.