Pada bulan September 2018 lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US Food and Drug Administration/FDA) mengeluarkan pernyataan bahwa penggunaan rokok elektronik di kalangan remaja Amerika Serikat telah mencapai tahap epidemi. Pernyataan tersebut dilontarkan setelah FDA menemukan ada lebih dari dua juta pelajar baik tingkat SMA maupun SMP yang menggunakan rokok elektronik sepanjang tahun 2017.
FDA juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait penggunaan rokok elektronik di kalangan remaja dan menilai perlu ada pengaturan lebih lanjut agar peredaran rokok elektronik tidak disalahgunakan. Hukum federal di Amerika Serikat sendiri melarang praktik penjualan produk rokok elektronik pada remaja di bawah usia 18 tahun.
Komisaris FDA Scott Gottlieb mengakui pihaknya telah lalai memperhitungkan daya tarik rasa dari rokok elektronik terhadap remaja. Karenanya, FDA menyatakan penggunaan rokok elektronik yang dapat menyebabkan ketergantungan pada remaja harus diakhiri. Berdasarkan survei National Youth Tobacco pada 2016 lalu, sebanyak 1,7 juta pelajar SMA dan 500 ribu pelajar SMP mengakui bahwa mereka mengonsumsi rokok elektronik dalam rentang waktu 30 hari terakhir saat survei dilakukan.
Meski begitu, FDA masih terus mempelajari rokok elektronik sebagai salah satu produk tembakau alternatif yang bisa membantu perokok dewasa untuk berhenti secara bertahap mengingat produk ini berpotensi memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional yang penggunaannya dengan cara dibakar. Gottlieb menjelaskan bahwa hal utama yang menyebabkan penyakit berbahaya dari penggunaan produk tembakau bukanlah nikotin, melainkan TAR. Seperti disebut National Cancer Institute Amerika Serikat, TAR merupakan zat kimia yang dihasilkan dari proses pembakaran, salah satunya pada pembakaran tembakau. TAR mengandung bahan kimia berbahaya yang merupakan penyebab penyakit seperti kanker, jantung, dan paru-paru.
"Namun, bagaimanapun juga seharusnya tidak ada remaja di bawah umur yang memakai produk tembakau alternatif (rokok elektronik), maka perlu ada aturan dalam kerangka regulasi yang sesuai juga tepat," ungkap Gottlieb.
"Sampai saat ini, FDA berpendapat bahwa rokok elektronik sebagai alternatif bagi perokok dewasa untuk menghentikan kebiasaan mereka yaitu dengan beralih ke produk tembakau yang berpotensi memiliki tingkat risiko lebih rendah. Bagi kami, hal ini merupakan kesempatan untuk memanfaatkan potensi dari teknologi baru, dimana perokok bisa tetap mendapatkan nikotin, namun dengan potensi risiko yang lebih sedikit daripada rokok karena tidak adanya proses pembakaran," sambung Gottlieb.
Jika berkaca dari negara lain seperti Inggris, penggunaan produk tembakau alternatif ini telah diatur dalam sebuah peraturan, termasuk batasan umur siapa saja yang bisa menggunakannya. Pada bulan Mei 2017, Inggris mulai memperketat aturan penggunaan rokok elektronik seperti pengurangan ukuran isi ulang, pengurangan ukuran tangki dan cartridge, hingga pengetatan pada pengguna remaja di bawah umur.
Selain Inggris, Selandia Baru juga sudah menerapkan aturan terkait penggunaan produk tembakau alternatif. Seperti contoh, rokok elektronik tidak boleh dijual dalam kemasan polos, hanya boleh dikonsumsi oleh konsumen yang berusia 18 tahun ke atas, dan menerapkan regulasi khusus iklan rokok elektronik yang bertujuan mengurangi daya tariknya bagi masyarakat yang tidak merokok dan remaja di bawah umur.
Di Indonesia, produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang terdiri dari rokok elektronik atau vape, molase tembakau, tembakau kunyah, dan tembakau hirup diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No.146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang berlaku sejak Juli 2018 lalu.
Meskipun sampai saat ini belum ada kebijakan yang secara khusus mengatur batasan umur penggunaan produk tembakau alternatif di Indonesia, namun beberapa penjual produk rokok elektronik atau vape di Indonesia sudah berinisiatif melakukan pencegahan penggunaan produk tersebut pada remaja di bawah umur. Misalnya, Vaporizer Jakarta, yang sejak awal 2018 menerapkan kebijakan verifikasi kartu identitas calon pembeli yang membeli rokok vape.
Dari pihak asosiasi seperti Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), juga sudah membekali para pengusaha vape yang berada di bawah naungannya agar menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait penjualan produk vape. Salah satu yang diatur dalam SOP tersebut adalah anggota APVI dilarang menjual produk kepada remaja di bawah umur.
Ketua APVI Aryo Andrianto pun berharap pemerintah segera merumuskan regulasi produk tembakau alternatif yang sesuai dengan tingkat risiko dan profil produk ini, dengan mengacu pada kajian dan bukti ilmiah. “Karena jika secara ilmiah produk ini terbukti memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok, maka sudah sepatutnya aturan pemerintah disesuaikan.
Selain mengatur tentang pembatasan usia bagi pembeli produk tembakau alternatif, aturan tersebut seyogyanya juga mencakup bagaimana memberikan edukasi yang akurat terkait produk tembakau alternatif, aturan terkait produk, penjualan, iklan, promosi dan sponsorship, sekaligus ketentuan yang jelas mengenai tempat-tempat yang dapat digunakan untuk mengonsumsinya," sambung Aryo.
"Upaya pencegahan atas penggunaan produk tembakau alternatif untuk remaja di bawah umur harus bersama-sama dilakukan oleh seluruh pihak yang dilindungi oleh aturan komprehensif, pengusaha juga akan merasa lebih terjamin dan leluasa dalam menjalankan usahanya," kata pria yang juga menjadi anggota Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) itu.