Left arrow Kembali

Pemerintah Harus Pisahkan Aturan Produk Tembakau Alternatif

Prevalensi perokok telah terbukti menurun di berbagai negara maju seperti Inggris yang menerapkan pendekatan pengurangan risiko pada aktivitas merokok (harm reduction). Dengan 90 juta perokok pada tahun 2016 silam, bagaimana baiknya pemerintah menekan prevalensi perokok?

Produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik (vape) dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar (heat-not-burn) telah menjadi salah satu pilihan bagi perokok dewasa di luar rokok konvensional. Sejumlah kalangan meminta pemerintah menyusun aturan tersendiri dan memisahkannya dengan produk tembakau konvensional.

Profesor Antropologi Budaya King Fadh University of Petroleum and Minerals Sumanto Al Qurtuby mengatakan produk tembakau alternatif di Indonesia tergolong kelompok Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) dan belum diatur secara khusus. "Produk tembakau alternatif memiliki perbedaan dari rokok konvensional baik dari sisi potensi risiko kesehatan hingga kontribusi bagi negara. Sehingga, penanganan regulasi yang diterapkan pemerintah diharapkan juga berbeda pula," kata Sumanto saat Bedah Buku "Polemik Rokok Konvensional dan Potensi Produk Tembakau Alternatif di Indonesia" di Jakarta, Kamis (20/12).

Dia menjelaskan sejumlah ahli dan ilmuwan melalui berbagai riset telah menyampaikan perbedaan mendasar antara produk tembakau alternatif dengan rokok konvensional. Salah satu contohnya adalah bahwa pada produk tembakau alternatif tidak terdapat proses pembakaran yang memproduksi zat TAR dan karbon monoksida. Kedua zat tersebut membahayakan kesehatan tubuh.

Lembaga ternama seperti Public Health England (Inggris), sebuah badan kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris dalam risetnya menyatakan produk tembakau alternatif yang dipanaskan (bukan dibakar) mampu menekan atau menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen. Hasil riset Food and Drug Administration (Amerika Serikat) serta Federal Institute for Risk Assessment (Jerman) juga menemukan hasil yang hampir sama. 

Secara umum rokok elektronik dan heat not burn memiliki persamaan antara lain keduanya memiliki risiko kesehatan lebih rendah, berasal dari daun tembakau, dan memproduksi uap bukan asap hasil pembakaran. Dengan kata lain, kedua produk ini memakai tembakau sebagai komponen utama. 

Namun, rokok elektronik berbeda dengan heat-not-burn. Kandungan nikotin pada cairan rokok elektronik diperoleh dari ekstraksi daun tembakau secara sintetis serta dipakai dengan cara memanaskan dan menguapkan cairan liquid. Sementara produk heat-not-burn mengandung komposisi daun tembakau yang diolah agar kompatibel dengan alat pemanas sebagai medium memanaskan batang tembakau. 

Sumanto menjelaskan pemerintah perlu menerapkan pendekatan berbeda untuk menurunkan tingkat prevalensi perokok di Indonesia yang masih mencapai 90 juta orang pada 2016. Pemerintah dapat belajar dari berbagai negara maju di dunia dalam menurunkan prevalensi merokok.

Menurut dia, prevalensi perokok telah terbukti menurun di berbagai negara maju seperti Inggris yang menerapkan pendekatan pengurangan risiko pada aktivitas merokok (harm reduction). Adapun di Indonesia, pendekatan yang dilakukan masih bersifat konvensional. 

Selama ini berbagai aturan dan program terkait tembakau di Indonesia lebih banyak bernuansa mengancam atau menakut-nakuti perokok dibandingkan memberikan jalan keluar. Padahal, pemerintah dapat memberikan jalan keluar berupa kebijakan yang mendorong produsen rokok memproduksi aneka produk tembakau alternatif yang mampu mengurangi dampak negatif rokok. "Ini salah satu aspek yang belum terlihat dari aturan dan kebijakan anti rokok di Indonesia," kata Sumanto. 

Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah sebenarnya mulai mengambil langkah positif. Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66, 67 dan 68 Tahun 2018 tentang Cukai Produk Tembakau Kategori HPTL.  Hanya saja, cukai sebesar 57% dinilai masih cukup tinggi, bahkan dibandingkan sigaret putih mesin yang hanya 55%. 

Tingginya cukai produk tembakau alternatif juga membuktikan pemerintah masih menganggap produk tersebut memiliki risiko sama besar dengan rokok konvensional. Padahal penerapan cukai yang tinggi terbukti kurang efektif menurunkan prevalensi perokok. "Ini juga kontradiktif dengan pendekatan harm reduction yang berhasil di negara maju," pungkas Sumanto.

Sumber: Kontan.co.id