Left arrow Kembali

Kolaborasi Antar Sektor Diperlukan untuk Menekan Konsumsi Rokok

Membahas isu konsumsi rokok di Indonesia tidak dapat dilihat dari satu faktor saja. Upaya menekan konsumsi rokok ini butuh kerja sama kuat antar elemen seperti pemerintah, akademisi, dan berbagai elemen lain agar kebijakan yang dihasilkan tepat sasaran, terukur, dan proporsional.

Peneliti Senior Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Prof. Achmad Syawqie berpendapat pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu melihat masalah utama di balik tingginya konsumsi rokok di Indonesia. Upaya menekan konsumsi rokok ini butuh kerja sama kuat antar elemen seperti pemerintah, akademisi, dan berbagai elemen lain agar kebijakan yang dihasilkan tepat sasaran, terukur, dan proporsional.

"Permintaan masyarakat tumbuh karena berbagai latar belakang, mulai dari kebudayaan, kebutuhan, atau untuk mendapatkan ketenangan di sela tekanan pekerjaan dan atau kerumitan lai, juga sejumlah latar belakang lain,” ujar Syawqie.

Syawqie setuju bahwa jalan terbaik untuk memutus rantai bahaya akibat merokok adalah dengan tidak memulainya sama sekali atau sepenuhnya berhenti bagi yang sudah. Namun, kita perlu mengerti bahwa berhenti merokok bukanlah hal mudah dan tidak bisa dilakukan secara instan. Oleh karena itu, pemerintah selaku pembuat kebijakan, perlu melihat seluruh aspek dan latar belakang konsumsi tembakau dalam menentukan strategi dan kebijakan yang tepat, untuk menurunkan konsumsi rokok dan meminimalkan bahayanya.

"Dalam hal ini(menurunkan konsumsi rokok) pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak, seperti ilmuwan atau peneliti, konsumen, serta budayawan,” ujarnya.

Syawqie menambahkan, dari sisi budaya pemerintah perlu berdiskusi terkait nilai dan posisi tembakau dalam ritual kebudayaan, dan meneliti kemungkinan lain apakah tembakau bisa tidak lagi diikutkan dalam ritual kebudayaan atau setidaknya menggantinya dalam bentuk yang lebih aman.

Dari sisi konsumen, pola konsumsi, apa yang dibutuhkan dari konsumsi tersebut, serta melihat potensi dan cara untuk berhenti secara langsung adalah hal utama yang perlu diperhatikan pemerintah. Hal itu juga termasuk penelitian terkait produk alternatif atau cara konsumsi lain untuk memenuhi kebutuhan konsumen, namun dengan risiko yang lebih rendah.

“Dalam hal inilah para peneliti dilibatkan dan didengarkan. Jadi, semua perlu bekerja sama, bahu membahu, dan saling mendengar dalam menuntaskan masalah ini, tidak bisa hanya satu pihak atau setiap pihak bekerja sendiri-sendiri,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah diharapkan mau membuka diri untuk mengkaji sejumlah penelitian yang sudah dilakukan di dalam maupun luar negeri. Misalnya, penelitian terkait perbedaan efek rokok dan rokok elektronik terhadap masalah mulut dan gusi yang dilakukan dr. Amaliya atau penelitian terkait efektivitas rokok elektronik versus produk terapi pengganti nikotin (NRT) yang dilakukan oleh Peter Hajek dan rekannya.

Lebih lanjut, jika penelitian yang sudah ada dirasa belum cukup, pemerintah juga diharapkan bisa mendukung peneliti dalam negeri untuk melakukan kerja sama penelitian serupa atau penelitian duplikasi untuk memperkuat hasil kajian yang sudah ada. Selain itu, penelitian lebih lanjut dengan variabel dan aspek berbeda dengan tujuan yang sama juga dapat dilakukan,untuk mencari alternatif yang lebih rendah risiko, serta membuktikan potensi dan efektivitasnya.

"Produk-produk tembakau alternatif yang ada saat ini memang belum sepenuhnya bisa mengeliminasi efek buruk konsumsi tembakau, tapi kalau memang teruji secara ilmiah lebih rendah risikonya dibandingkan terus merokok, kenapa tidak?" katanya. "Konsumen berhak mendapatkan berbagai pilihan produk, terutama jika ada produk yang risiko penggunaannya bisa semakin kecil dan ini butuh dukungan yang kuat dari pemerintah sambil melanjutkan penelitian mencari produk yang lebih baik lagi.”