Akademisi dari Fakultas Kesehatan Gigi Universitas Padjadjaran, Amaliya, mengatakan produk tembakau alternatif dapat dikedepankan menjadi opsi bagi perokok dewasa untuk mendapatkan nikotin.
Produk tembakau alternatif, kata Amaliya, memiliki profil risiko yang lebih rendah secara kajian ilmiah.
Hal ini juga ditemukan melalui kajian klinis yang dilakukan Amaliya bersama Agus Susanto dan Jimmy Gunawan dengan tajuk Respon Gusi Pada Pengguna Vape (Rokok Elektronik) Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan (Gingivitas Experimental)
“Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna rokok elektronik yang telah berhenti dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang dibuktikan dengan tingkat peradangan dan pendarahan gusi yang sama seperti yang dialami oleh non-perokok. Artinya, kondisi pertahanan gusi pengguna rokok elektronik telah kembali normal,” kata Amaliya melalui keterangan tertulis, Kamis (6/4/2023).
Dengan fakta tersebut, pemerintah dapat mempertimbangkan produk ini untuk menurunkan prevalensi merokok sekaligus meningkatkan perbaikan kesehatan publik.
Produk tembakau alternatif dapat menjadi solusi komplementer dari berbagai program dan upaya yang telah dijalankan pemerintah selama ini.
“Melihat bukti-bukti ilmiah yang ada, pemerintah harus bersikap lebih terbuka untuk dapat melihat profil risiko yang dimiliki oleh produk tembakau alternatif dan memanfaatkannya secara optimal,” jelas Amaliya.
Sementara itu artikel yang ditulis oleh dua mantan pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Profesor Robert Beaglehole dan Profesor Ruth Bonito, berjudul “Tobacco Control: getting to the finish line” yang diterbitkan di jurnal kesehatan global, Lancet Group mengungkap bahwa pengendalian tembakau yang berlaku sekarang tidak berfungsi dalam menurunkan angka perokok di dunia.
Baca Juga: Mengenal Third-hand Smoke
Secara global, jumlah perokok tidak mengalami perubahan.
Saat ini, hanya 30 persen dari seluruh negara di dunia yang telah berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pengurangan angka perokok dewasa pada 2030 mendatang yang ditetapkan WHO.
“Jumlah perokok di seluruh dunia berkurang jauh lebih lambat dari yang diperkirakan,” demikian isi artikel tersebut.
Menurut Robert dan Ruth, gagalnya strategi pengurangan jumlah perokok yang diterapkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) lantaran tidak memasukkan konsep pengurangan bahaya tembakau. Selama ini, kebanyakan orang merokok karena kecanduan nikotin.
Jadi, konsep ini bertujuan untuk mengurangi risiko akibat konsumsi rokok dengan mendorong perokok dewasa yang sulit untuk berhenti dari kebiasaanya agar dapat beralih ke produk tembakau alternatif.