Left arrow Kembali

Penerapan Strategi Pengurangan Bahaya Tembakau di Indonesia: Di Mana Letak Hambatannya?

Prof. Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian & Kerja Sama WHO, menyoroti lambatnya penerapan strategi pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction) di Indonesia. Padahal, berbagai kajian menunjukkan bahwa produk tembakau yang tidak melalui proses pembakaran berpotensi membantu perokok dewasa beralih dari kebiasaan merokok, sehingga menurunkan risiko penyakit terkait tembakau. Menurutnya, inovasi ini belum dimanfaatkan secara optimal, antara lain karena lima hal utama: sikap WHO yang belum mendukung pendekatan ini, perbedaan regulasi antarnegara, maraknya misinformasi tentang produk alternatif, rendahnya kepercayaan publik terhadap inovasi dari industri, serta fokus perdebatan yang lebih menitikberatkan pada risiko bagi anak-anak dibanding membantu perokok dewasa. Pendekatan yang terlalu restriktif, menurut Prof. Tikki, justru berisiko mendorong pasar gelap seperti yang terjadi di Australia

Sebagai solusi, Prof Tikki mendorong dialog terbuka berbasis sains antara pemerintah, akademisi, tenaga kesehatan, dan konsumen. Ia mencontohkan program “Switch to Stop” di Inggris yang menyediakan akses produk alternatif bagi satu juta perokok dewasa sebagai bagian dari strategi nasional. Menurutnya, kepemimpinan politik dan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci agar inovasi dapat dimanfaatkan secara bertanggung jawab untuk menurunkan risiko kesehatan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Mantan Direktur Penelitian, Kebijakan, dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Prof Tikki Pangestu, menilai upaya pengurangan risiko tembakau atau Tobacco Harm Reduction (THR) masih berjalan lambat di Indonesia.

Padahal, menurutnya, terdapat riset yang menunjukkan potensi produk tembakau alternatif bagi perokok dewasa yang ingin berhenti merokok.

“Mengapa produk-produk inovatif baru ini belum digunakan secara luas sebagai strategi pengurangan bahaya yang penting untuk mengakhiri epidemi merokok? Hal ini tetap menjadi tantangan besar,” ujarnya dilansir dari Kontan, Jumat (5/11/2025).

Dipicu 5 Faktor

Menurut Tikki, ada lima hambatan yang membuat penerapan THR belum optimal.

“WHO sebagai badan kesehatan dunia sangat berpengaruh. Jadi, jika WHO mengambil posisi menolak, negara-negara cenderung mengikuti arahan mereka,” jelasnya.

Kedua, regulasi yang masih berbeda-beda di tiap negara sehingga memengaruhi akses dan keterjangkauan produk tembakau alternatif.

Ketiga, maraknya misinformasi mengenai bahaya dan manfaat produk tembakau alternatif.

“Buktinya jelas menunjukkan produk tersebut 90% lebih rendah risiko,” ujarnya.

Keempat, masih adanya ketidakpercayaan publik terhadap industri, yang menurutnya dipengaruhi oleh persepsi negatif di masa lalu.

Kelima, fokus perdebatan lebih banyak pada risiko bagi anak-anak dan remaja dibanding membantu perokok dewasa berhenti merokok.

“Pengguna vape dewasa 15 kali lebih banyak dibandingkan anak muda. Jadi mengapa fokusnya beralih dari membantu perokok dewasa yang ingin berhenti ke anak muda yang merupakan minoritas?” terangnya.

Tikki menilai hambatan tersebut dapat memicu munculnya pasar gelap, seperti yang disebut terjadi di Australia.

“Ketika Anda melarang sesuatu, Anda mendapatkan pasar gelap, penyelundupan, dan bahkan kekerasan dalam penjualan,” jelasnya.

Dorong Dialog Berbasis Sains

Tikki mendorong adanya ruang dialog yang terbuka dan berbasis sains antara pemerintah, ahli kesehatan, akademisi, hingga konsumen.

Ia mencontohkan program “Switch to Stop” di Inggris, yang menyediakan akses produk tembakau alternatif bagi satu juta perokok sebagai bagian dari strategi kesehatan nasional.

“Kepemimpinan politik sangat penting,” ujarnya.

Tikki menilai pendekatan kolaboratif perlu diperkuat agar inovasi dapat dimanfaatkan untuk menurunkan risiko penyakit dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

https://regional.kompas.com/read/2025/11/07/163729378/pakar-ungkap-penyebab-lambatnya-upaya-pengurangan-risiko-tembakau