Tembakau terus menjadi tantangan besar secara global, yang menyebabkan lebih dari 8 juta kematian per tahun, di mana 1,2 juta di antaranya terkait dengan paparan asap rokok dan ini menjadikannya sebagai salah satu ancaman kesehatan masyarakat paling serius yang dihadapi dunia.
Indonesia mengalami epidemi rokok dengan sekitar 60 juta perokok dan hampir 300.000 kematian per tahun yang disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan merokok. Tembakau menyebabkan seperempat (25,3%) dari seluruh kematian pria dan 7,2% kematian wanita di negara ini.
Dalam upaya mengurangi dampak epidemi rokok, dan dalam upaya global untuk membantu orang dewasa berhenti dari kebiasaan mematikan ini, pendekatan pengurangan dampak buruk tembakau (tobacco harm reduction/THR) yang memanfaatkan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, dan tembakau kunyah (snus), telah membuktikan potensi dan perannya dalam membantu perokok dewasa untuk berhenti merokok di beberapa negara, termasuk Inggris Raya, Selandia Baru, Jepang, dan Swedia.
Terdapat bukti kuat secara global yang menunjukkan bahwa produk tembakau alternatif secara signifikan lebih tidak berbahaya daripada rokok konvensional dan lebih efektif daripada terapi pengganti nikotin (nicotine replacement therapy) dalam membantu perokok dewasa berhenti merokok.
Namun, di banyak negara di kawasan Asia Tenggara (Asean), penggunaan produk tembakau alternatif sebagai bagian dari strategi untuk menangani epidemi rokok masih menjadi perdebatan dan diliputi kontroversi, ketidakpastian, dan kerancuan baik dari aspek medis/kesehatan maupun dari segi regulasi.
Meskipun Indonesia mengizinkan pembelian produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik, tetapi peraturan yang ada tidak konsisten dan tersekat-sekat, serta sering kali tidak proporsional dengan profil risiko produk produk tembakau alternatif dibandingkan dengan rokok konvensional.