Firmansyah menilai pembatasan ekstrem tidak membuat pengguna berhenti, melainkan mendorong produksi gelap yang berisiko bagi kesehatan publik. Arvindo pun aktif melaporkan maraknya penjualan vape ilegal di e-commerce kepada pemerintah.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Badan Narkotika Nasional (BNN), yang menegaskan tidak akan menyamakan vape dengan narkotika seperti di Singapura. Fokus pengawasan diarahkan pada cairan vape yang mengandung zat berbahaya, dengan kolaborasi Bea Cukai, marketplace, dan pelaku industri.
Firmansyah menekankan pentingnya pelibatan pelaku usaha dalam proses kebijakan agar pengawasan berjalan efektif dan industri tetap sehat.
Pelaku usaha rokok elektronik atau vape mendukung penuh upaya pemerintah menekan peredaran rokok elektronik atau vape ilegal di Indonesia.
Meski demikian, mereka berharap pemerintah tidak mengeluarkan regulasi yang bersifat eksesif dan berpotensi mengancam kelangsungan industri legal.
Ketua Umum Asosiasi Ritel Vape Indonesia (Arvindo), Firmansyah Siregar, mengatakan kolaborasi dengan pelaku usaha seharusnya menjadi salah satu cara efektif mengatasi maraknya peredaran vape ilegal.
“Kalau aturannya terlampau eksesif, maka industrinya berpotensi mati. Tapi apakah barangnya akan berhenti beredar? Justru nanti akan semakin liar dan kontrol semakin tidak ada,” kata Firmansyah dilansir Tribunnews.com, Selasa (9/9/2025).
Menurutnya, konsumen tidak serta-merta berhenti menggunakan produk vape, melainkan tetap mencari cara untuk mendapatkannya, baik dengan memasukkan barang dari luar negeri maupun memproduksi secara mandiri.
Situasi ini justru dinilai membahayakan kesehatan publik.
“Para pengguna tidak akan berhenti begitu saja. Mereka akan tetap mencari cara, entah memasukkan barang dari luar atau secara diam-diam membuat di dalam negeri,” ujarnya.
Firmansyah mencontohkan, meski rokok elektronik sudah berstatus legal di Indonesia, masih banyak oknum menjual produk ilegal di e-commerce. Arvindo mengaku sudah melaporkan hal itu kepada pemerintah.
“Kami sudah berulang kali melaporkannya tapi tidak bisa dicegah, apalagi kalau rokok elektronik ini diatur secara eksesif,” ucapnya.
Langkah BNN
Sebelumnya, Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan tidak akan mengikuti jejak Singapura yang membatasi peredaran vape dengan menyamakannya sebagai narkotika.
BNN memilih fokus memperketat pengawasan terhadap cairan vape yang mengandung zat berbahaya.
”Kalau di Singapura kan melarang. Kami di sini tidak ke arah situ, tapi harus mengontrol liquid-liquid yang kontennya narkoba,” ujar Kepala BNN Marthinus Hukom, yang kini digantikan Suyudi Ario Seto.
BNN juga menggandeng Bea Cukai, marketplace, hingga toko vape untuk memperkuat pengawasan tanpa mengganggu bisnis para pengusaha.
”Jadi yang dilarang itu narkobanya, bukan vape atau rokok elektroniknya,” kata Marthinus.
Harapan Industri
Firmansyah menambahkan, Arvindo berusaha membuka ruang diskusi dengan pemangku kebijakan agar wacana regulasi tidak berlebihan.
Ia menegaskan rokok elektronik berbeda dengan narkoba, meski masih ada pihak yang menyamakan keduanya.
“Padahal itu keliru,” katanya.
Arvindo resmi berdiri pada 10 November 2022, dengan tujuan memperkuat posisi UMKM industri vape dalam negeri agar mampu menjadi tuan rumah di pasar sendiri.
“Apapun kebijakannya, industri harus dilibatkan. Kami yang tahu kondisi di lapangan dan kami juga yang mau menjaganya. Ini merupakan salah satu fungsi kontrol yang sudah kami lakukan,” ujar Firmansyah.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Ketua Perkumpulan Produsen E-Liquid Indonesia (PPEI), Agung Subroto, mengatakan masyarakat dapat membedakan produk legal dan ilegal dari pita cukai.
”Perbedaan produk yang legal dan ilegal itu bisa dilihat dari pita cukainya. Produk yang memiliki pita cukai itu berarti sudah legal,” jelasnya.