Left arrow Kembali

Produk Tembakau Alternatif Diharapkan Dorong Kegiatan Ekonomi Baru

Pada 2018, industri rokok elektronik mampu menyumbang cukai Rp 105,6 miliar, dan tahun ini penerimaan cukai ditargetkan mencapai Rp 2 triliun. Perkembangan produk tembakau alternatif diharapkan mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi baru masyarakat, khususnya di daerah.

Perkembangan produk tembakau alternatif terus bertumbuh dengan pesat di Indonesia. Hal tersebut diharapkan mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi baru masyarakat, khususnya di daerah. Pembina Asosiasi Vaper Indonesia (AVI) Dimasz Jeremia mengatakan, setelah rokok elektronik, kini di Indonesia juga telah hadir produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar (heat not burn). Dia menjelaskan, persamaan dari keduanya adalah perannya sebagai alat pengantar nikotin. Persamaan lainnya, hasil penggunaan dari kedua produk tersebut tidak menghasilkan asap, yang lazimnya terdapat pada rokok konvensional.

Adapun perbedaan mendasar antara rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar yakni pada jenis tembakau dan proses kerjanya. Pada rokok elektronik, bahan bakunya berupa cairan nikotin yang merupakan hasil dari ekstraksi tembakau. Cairan tersebut dipanaskan oleh atomizer atau sistem pemanas di dalam rokok elektronik. Meski mengandung nikotin, rokok elektronik tidak mengandung TAR karena cairan nikotin tersebut diproses dengan cara dipanaskan, bukan dibakar.  

Sedangkan pada produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar, batang tembakau dipanaskan pada titik maksimal 350 derajat Celcius. Dengan alat tersebut, tembakau yang dipanaskan menghasilkan nikotin dalam bentuk uap sehingga tidak menghasilkan karbon monoksida dan zat karsigonen lainnya seperti yang terdapat dalam TAR pada rokok konvensional.

Dengan perkembangan produk tembakau alternatif ini, lanjut dia, diharapkan tidak hanya akan menurunkan jumlah perokok konvensional tetapi juga menumbuhkan kegiatan ekonomi baru di masyarakat. "Rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar merupakan salah satu alternatif bagi perokok untuk beralih dari rokok konvensional. Dari sisi risiko, rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar tidak sebesar rokok,” ungkap dia.

Pengenaan Cukai Dorong Pertumbuhan Industri Rokok Elektronik

Setahun pasca dikeluarkannya kebijakan penetapan tarif cukai pada produk tembakau alternatif yaitu rokok elektronik, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) memberikan apresiasi atas dukungan yang berkelanjutan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Ketua APVI, Aryo Andrianto, mengatakan DJBC telah menjalankan kebijakan dengan sangat baik sehingga berdampak positif pada pertumbuhan bisnis industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).

Aryo juga menyatakan DJBC hingga saat ini konsisten memberantas peredaran rokok elektronikyang ilegal, terutama rokok elektronik. Konsistensi tersebut menciptakan iklim bisnis yang kondusif sehingga mendorong perkembangan industri. “Kami optimis DJBC akan terus mempertahankan kinerja positif ini. Kami, pelaku usaha yang legal, siap mendukung DJBC demi mendorong pertumbuhan industri HPTL dan perekonomian negara,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).

Pada Juli 2018, penerapan cukai HPTL efektif berlaku mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam beleid tersebut, produk HPTL dikenakan tarif cukai sebesar 57 persen. Dia menjelaskan, pada 2018, industri rokok elektronik mampu menyumbang cukai Rp 105,6 miliar. Untuk tahun ini, DJBC menargetkan penerimaan Rp 2 triliun.

Penurunan Tarif Cukai

Meskipun demikian, Aryo berharap pemerintah menurunkan tarif cukai HPTL karena tarif cukai saat ini dinilai terlalu tinggi. Hal ini dikhawatirkan bakal mengancam kelangsungan industri. “Di kategori rokok saja, merek rokok baru dari perusahaan baru bisa dikenakan tarif yang lebih rendah. Karena itu, kami mohon pada pemerintah untuk memikirkan kembali besaran tarif cukai HPTL bagi industri baru ini, yang hampir 90 persen pelaku usahanya berasal dari UMKM,” kata Aryo.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga dinilai perlu mengubah sistem tarif cukai HPTL menjadi sistem nominal. Sistem tersebut akan memberikan kemudahan dari sisi administrasi, baik untuk pemerintah maupun pelaku usaha. Dengan sistem tarif cukai prosentase yang diterapkan saat ini, pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan dan penghitungan cukai produk HPTL.

“Sistem nominal diberlakukan untuk menghindari adanya kecurangan atau penghindaran cukai. Melalui sistem cukai nominal, produk HPTL ilegal atau yang tidak membayar cukai juga bisa ditekan. Sebaiknya, perubahan sistem cukai justru diikuti dengan penurunan beban cukai agar industri baru ini mendapat kesempatan untuk bertumbuh,” tandas dia.

Sumber: Artikel Liputan6.com, 1 Agustus 2019