Left arrow Kembali

Strategi Kurangi Jumlah Kematian Perokok Pasif di Indonesia

Tidak seperti negara-negara maju yang berhasil mengurangi jumlah perokok, negara-negara berkembang seperti Indonesia, justru mengalami peningkatan. Berkaca pada negara maju yang berhasil menekan jumlah perokok, bagaimana strategi jitu yang harusnya dilakukan pemerintah?

Tidak seperti kebanyakan negara maju yang secara bertahap telah mengurangi jumlah perokok di negaranya masing-masing, angka perokok di negara-negara berkembang seperti Indonesia justru terus mengalami peningkatan. Kondisi ini diperkirakan akan berakibat buruk di mana lebih dari 7 juta kematian akibat rokok akan terjadi pada tahun 2030.

Penelitian dari Riset Kesehatan Dasar (Risdeknas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sekitar 25.000 perokok pasif meninggal akibat menghirup asap rokok tembakau yang dihembuskan oleh perokok aktif. Angka ini pun hampir dapat dipastikan akan terus naik seiring meningkatnya jumlah perokok. Riset yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2017 berjudul "Nilai Ekonomi dan Kesehatan Tembakau di Indonesia" menunjukkan bahwa merokok menyebabkan kerugian secara finansial dan sosial dalam keluarga, termasuk hilangnya produktivitas, beban ekonomi yang lebih berat, dan biaya layanan kesehatan yang lebih tinggi. "Total kerugian ekonomi yang disebabkan oleh hilangnya produktivitas pada tahun 2015 mencapai Rp 374,06 triliun," kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Hasbullah Thabrany. 

Baca Juga: Apa itu Perokok Pasif dan Apa Perbedaan Perokok Aktif dan Pasif?

Meningkatnya jumlah perokok serta dampak negatifnya terhadap perokok pasif juga disebabkan oleh kurangnya infrastruktur kesehatan yang memadai, kurangnya kesadaran tentang bahaya merokok, serta kurangnya kebijakan yang mendukung. Hal-hal ini menjadi tantangan dalam upaya mengurangi tingkat merokok di negara-negara berkembang seperti Indonesia. 

Pada tahun 2004, studi yang dilakukan oleh Husten dan Abdullah berjudul "Promotion of Smoking Cessation in Developing Countries: A Framework for Urgent Public Health Interventions" menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat, keterlibatan swasta, dan peraturan yang tepat dapat berkontribusi pada suksesnya upaya mengurangi tingkat merokok. Pemerintah pun telah menerbitkan sejumlah regulasi, mulai dari peraturan tentang iklan, promosi, dan sponsor oleh perusahaan rokok tembakau (Tobacco Advertisement, Promotion, and Sponsorship, TAPS), Kawasan Tanpa Rokok (KTR), hingga peraturan terkait kemasan dan label produk rokok.

Peraturan terkait KTR bertujuan untuk membatasi ruang bagi perokok dan menciptakan ruang publik yang lebih ramah bagi nonperokok, sehingga mereka tidak akan terpapar dampak negatif sebagai perokok pasif. Setiap pemerintah daerah diharuskan untuk mengadopsi aturan ini melalui proses legislasi di daerahnya masing-masing.

Namun sayangnya, regulasi tersebut tidak menetapkan tenggat waktu untuk proses legislasi dan implementasi serta tidak menuntut komitmen serius dari masing-masing pemerintah daerah. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, hingga tahun 2017, terdapat 275 daerah yang telah menerbitkan Perda tentang KTR, baik di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Namun, hanya kurang dari setengah pemerintah daerah di Indonesia yang telah meloloskan proses legislasinya.

Inisiatif lainnya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan yang mewajibkan perusahaan rokok untuk menampilkan gambar-gambar bahaya rokok secara eksplisit di kemasan produknya. Meskipun regulasi tersebut sudah efektif sejak 2014, penerapannya masih dinilai kurang maksimal.

Kepala Departemen Ekonomi Universitas Indonesia, Teguh Dartanto pernah mengatakan bahwa gambar-gambar tersebut hanya menimbulkan rasa tidak nyaman, namun tidak benar-benar efektif dalam membuat perokok ingin berhenti.

Hasbullah mengatakan, keluarga terdekat haruslah terlibat dan harus dimulai sedini mungkin. Selain itu, alternatif seperti Konsep Tobacco Harm Reduction yang mengajukan produk alternatif seperti heat-not-burn (HNB) dan electronic nicotine delivery systems (ENDS) juga bisa mengurangi efek buruk ini. HNB dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan tembakau sebagai alat yang bekerja dengan memanaskan tembakau di bawah tingkat pembakaran rokok pada umumnya namun cukup untuk melepaskan nikotin yang terkandung dalam sebatang rokok. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap dapat memberikan perokok pengaalaman merokok yang serupa dengan rokok biasa namun mampu mengurangi tingkat racun dan bahaya yang diterima oleh tubuh.

Sementara itu, ENDS merupakan alat vape yang berdasarkan penelitian dapat memberikan alternatif pengalaman dalam merokok namun pada saat bersamaan juga mengurangi efek buruk merokok karena tidak melibatkan tembakau yang dibakar, yang merupakan penyebab utama terlepasnya zat karsinogenik dan reprotoxic dari rokok biasa.

Di beberapa negara, pendekatan harm reduction telah berhasil diadopsi, sebagian negara telah meregulasi bentuk dari pendekatan harm reduction, sementara sebagian negara lainnya melarang pendekatan ini. Public Health England (PHE) dari Departemen Kesehatan dan Kepedulian Sosial Inggris pernah menerbitkan penelitian yang dinilai cukup berpengaruh dalam topik ini. Studi tersebut menunjukkan bahwa ENDS 95 persen lebih rendah risiko dibandingkan dengan rokok tembakau yang dibakar.

Bagi perokok pasif, jurnal BMC Public Health menerbitkan ulasan pada tahun 2014 tentang zat kimia pencemar apa yang terkandung dalam produk rokok elektronik. Ulasan tersebut menemukan bahwa uap vape yang dihirup oleh perokok pasif cenderung lebih kecil dan tidak menimbulkan kekhawatiran yang besar. Lalu, pada tahun 2018, Journal of Aerosol Science juga mengevaluasi risiko kanker yang dimiliki oleh pengguna rokok elektronik aktif dan pasif dengan mengukur partikel yang dihasilkan oleh rokok elektronik. Jurnal tersebut menemukan bahwa uap yang dihirup oleh perokok pasif berada jauh di bawah batas keamanan WHO/EPA.

Semua pihak, baik publik, swasta, maupun masyarakat, memiliki tanggung jawab untuk menemukan alternatif yang tepat untuk mengurangi tingkat merokok di negeri ini. Namun, pada akhirnya, setiap perokok dewasalah yang bertanggung jawab untuk peduli terhadap diri mereka sendiri dan menyadari dampak buruk yang akan diterima bukan hanya oleh diri mereka sendiri namun juga oleh orang-orang di sekitar mereka.

Baca Juga: Perbedaan Perokok Aktif dan Perokok Pasif yang Harus Kamu Tahu!

Sumber: Merdeka.com, 11 Februari 2019